Kamis, 02 April 2009

Bunda, Kenapa Engaku Menanggis???

( Copy fRom Kaskus )

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. “Ibu, mengapa Ibu menangis?”
Ibunya menjawab, “Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak”.
“Aku tak mengerti” kata si anak lagi.
Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. “Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti….”

Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. “Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?”
Sang ayah menjawab, “Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan”.
Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.

Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis.
Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan.”Ya Tuhan, mengapa wanita mudah sekali menangis?”
Dalam mimpinya, Tuhan menjawab,”Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama.Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman danlembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.
Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, danmengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu.
Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.
Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.
Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.
Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan enjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak?Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.
Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita,walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan”.

Rabu, 01 April 2009

STT Doulos - Tuhan itu Nyata, Love u GOD!

"Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehendaki-Nya." Yohanes 5:21

Saudara-saudara yang dikasihi oleh Tuhan, dalam kesempatan ini saya akan bersaksi tentang peristiwa kematian dan kehidupan yang saya alami pada tanggal 15 Desember 1999. Peristiwa ini juga merupakan suatu tragedi bagi yayasan Doulos, Jakarta dimana STT Doulos ada di dalamnya dan saya adalah mahasiswa yang tinggal di asrama. Sebelum penyerangan dan pembakaran Yayasan Doulos tanggal 15 Desember itu, beberapa kali saya mendapat mimpi-mimpi sebagai berikut:

Minggu, 12 Desember 1999, saya bertemu dengan Tuhan Yesus dan malaikat, saya terkejut dan bangun lalu berdoa selesai saya tidur kembali.

1.. Senin, 13 Desember 1999, saya bermimpi lagi, dengan mimpi yang sama.

2.. Selasa, 14 Desember 1999, dalam mimpi saya bertemu dengan seorang pendeta pada suatu ibadah KKR, isi khotbah yang disampaikan mengenai akhir zaman, adanya penganiayaan dan pembantaian.

3.. Rabu, 15 Desember 1999, kurang lebih pukul 08.00 pagi, saya mendapatkan huruf "M" dengan darah di bawah kulit pada telapak tangan kanan saya. Dalam kebingungan dan sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah saya akan mati? Saya bertanya kepada teman-teman dan pendapat mereka adalah bahwa kita akan memasuki millennium yang baru. Walaupun pendapat mereka demikian saya tetap merasa tidak tenang serta gelisah karena dalam pikiran saya huruf "M" adalah mati, bahwa saya akan mengalami kematian. Saya hanya bisa berdoa dan membuka Alkitab. Sekitar pukul 15.00 saya membaca firman Tuhan dari Kitab Yeremia 33:3 "Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab Engkau." Dan pada pukul 18.00, tanda huruf "M" di telapak tangan saya sudah hilang.

#Kampus dan Asrama Mahasiswa Doulos Diserang#

Pada malam hari tanggal 15 Desember 1999. kegiatan berlangsung biasa di dalam asrama kampus STT Doulos. Sebagian mahasiswa ada sedang belajar, yang lain memasak di dapur dan ada pula yang sedang berdiam. Saya sendiri sedang berbaring di kamar. Kurang lebih jam 21.00 malam itu, saya dibangunkan oleh seorang teman sambil berteriak: "Domi, bangun, kita diserang!" Saya langsung bangun dalam keadaan panic, saya langsung berlari ke halaman kampus dan melihat sebagian kampus kami yang telah terbakar. Saat itu saya berkata kepada Tuhan: "Tuhan, saya mau lari kemana? Tuhan, kalau saya lari lewat pintu gerbang depan pasti saya dibacok."

Sementara pikiran saya bertambah kalut ketika teringat akan tanda huruf "M" yang diberikan pada tangan saya. "Tuhan, apakah saya akan mati?" Saya menoleh ke belakang, ada beberapa teman sekamar yang lari menyelamatkan diri masing-masing.

Di belakang kampus kami dikelilingi pagar kawat duri setinggi 2 meter, saya tidak bisa melompat keluar dengan cara mengangkat kawat itu. Dengan tangan sedikit terluka akhirnya saya pun dapat keluar.

Kami sudah berada di luar pagar dengan keadaan takut dan gemetar karena di sana terdapat massa atau orang banyak yang tidak dikenal, mereka membawa golok, pentungan, batu dan botol berisi bensin atau Molotov. Kemudian kami berpisah dengan teman-teman, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka.

Saya lari menuju kos kakak tingkat semester 10, yang letaknya tidak jauh dari kampus. Sementara saya berlari, saya tetap berdoa kepada Tuhan: "Tuhan berkati saya, ampuni dosa dan kesalahan saya." Setiba di rumah kos itu, saya mengetuk pintu sebanyak 2 kali tetapi tidak ada yang membukakan pintu.

Ternyata di belakang saya ada 4 teman mahasiswi yang juga lari mengikuti dari belakang. Mereka memanggil saya: "Domi, ikut ke rumah kami" tetapi saya berkata kepada mereka, "biar saya bersembunyi di sini." Masih berada di depan rumah kos tersebut, saya berdoa lagi "Oh.. Tuhan, apakah malam ini saya akan mati? Ampuni dosa dan kesalahan saya."

#Ditangkap oleh Massa#

Saya mengetuk pintu lagi, tetapi tidak ada orang yang menjawab, saya berdoa kembali: "Tuhan.. ini hari terakhir untuk saya hidup." Terdengar suara massa yang semakin mendekat kepada saya. Mereka berkata: "Itu mahasiswa Doulos, tangkap dia!" Ada juga yang berteriak: "Bantai dia, tembak!"
Seketika itu saya ditangkap dan saya hanya bisa berserah kepada Tuhan sambil berkata: "Tuhan saya sudah di tangan mereka, saya tidak bisa lari lagi."

Kemudian tangan saya diikat ke belakang dan mata saya ditutup dengan kain putih. Saya tetap berdoa dalam keadaan takut dan gemetar: "Tuhan ampuni dosa saya, pada saat ini Engkau pasti di samping saya." Tiba-tiba ada suara terdengar oleh saya entah dari mana, yang berkata: "Jangan takut, Aku menyertai engkau, Akulah Tuhan Allahmu." Setelah mendengar suara itu, rasa ketakutan dan kegentaran hilang, karena saya sudah pasrahkan kepada Tuhan.

#Penganiayaan dan Kematian#

Mereka membawa saya ke tempat yang gelap, saya dipukuli dan ditendang. Saya dihadapkan dengan massa uang jumlah orangnya lebih banyak, saat itu mereka ragu, apakah saya mahasiswa Doulos atau warga sekitarnya. Sebagian massa ada yang terus mendesak untuk memotong dan membunuh saya.

Saya berdoa lagi: "Tuhan, fisik saya kecil, kalau saya mati, saya yakin masuk sorga. Saat ini saya serahkan nyawa saya ke dalam tangan kasih-Mu, ampunilah mereka." Saat itu kepala saya dipukul dari belakang dan terjatuh di atas batu, saya tidak
sadar akan apa yang terjadi lagi.

#Roh Saya Keluar Dari Tubuh#

Kemudian ... roh saya terangkat keluar dari tubuh saya, roh saya berbentuk seperti orang yang sedang start lari atau sedang jongkok, lalu lurus seperti orang yang berenang kemudian berdiri. Roh saya melihat badan saya dan berkata: "Kok badan saya tinggal" (sebanyak dua kali). Roh saya berdiri tidak menyentuh tanah dan tidak tahu mau berjalan kemana, karena di sekeliling saya gelap gulita, kurang lebih lima detik, roh saya berkata:
"Mau ke mana?"

#Lima Malaikat Datang Menjemput Saya#

Saat itu ada lima malaikat datang kepada saya, dua berada di sebelah kiri, dua di sebelah kanan dan satu malaikat berada di depan saya. Tempat yang tadinya gelap gulita telah berubah menjadi terang dan saya sudah tidak dapat melihat badan saya lagi. Roh saya dibawa oleh malaikat-malaikat tersebut menuju jalan yang lurus, dan pada ujung jalan itu sempit seperti lubang jarum. Roh saya berkata: "Badan saya tidak dapat masuk." Tetapi malaikat yang di depan saya bisa masuk, lalu roh saya berkata lagi: "Badan rohani saya kecil pasti bia masuk." Kemudian roh saya ma
suk melalui lubang jarum tersebut.

"Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham." Lukas 16:22

#Berada di Dalam Firdaus#

Saat itu saya sudah berada di dalam sebuah halaman yang luas. Halaman itu sangat luas, indah dan tidak ada apa-apa. Roh saya berkata: "Kalau ada halaman pasti ada rumahnya." Tiba-tiba saat itu ada rumah, saya dibawa masuk ke dalam rumah tersebut dan bertemu dengan banyak orang di kamar pertama. Roh saya berkata: "Ini orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, mereka ditempatkan di sini." Mereka sedang bernyanyi, bertepuk tangan, ada yang berdiri, ada yang duduk dan ada yang meniup sangkakala.

"Di rumah Bapaku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu." Yohanes 14:2

#Dibawa ke Ruangan Selanjutnya#

Saya dibawa oleh malaikat-malaikat ke kamar selanjutnya atau kedua, sama dengan kamar yang pertama, hanya disini roh saya melihat orang-orang dengan wajah yang sama dan postur tubuh yang sama. Kemudian saya dibawa lagi ke kamar yang ketiga, yang sama dengan kamar yang pertama. Dan roh saya berkata: "Ini orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, ditempatkan di sini." Lalu roh saya dibawa ke kamar yang keempat yaitu kamar yang terakhir, pada saat ini saya hanya sendiri, tidak disertai oleh malaikat-malaikat tadi. Kamar itu kosong, lalu roh saya berkata: "Ini penghakiman terakhir, saya masuk sorga atau neraka."

"Karena sekarang telah tiba saatnya penghakiman dimulai, dan pada rumah Eloim sendiri yang harus pertama-tama dihakimi. Dan jika penghakiman itu dimulai pada kita, bagaimanakah kesudahannya dengan mereka yang tidak percaya pada Injil Eloim? Dan jika orang benar hampir-hampir tidak diselamatkan, apakah yang akan terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa?" 1 Petrus 4:17-18

#Bertemu dengan Tuhan Yesus#

Kemudian roh saya berjalan tiga sampai empat langkah, di depan saya ada sinar atau cahaya yang sangat terang seperti matahari, maka roh saya tidak dapat menatap. Saya menutup mata dan terdengar suara: "Berlutut!" Seketika itu roh saya berlutut, terlihat sebuah kitab terbuka dan dari dalamnya keluar tulisan yang masuk ke mata saya yang masih tertutup, tulisan timbul dan hilang terus menerus, roh saya berkata: "Tuhan...! ini perbuatan saya minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu. Saya melakukan yang jahat dan saya tidak pernah mengaku dosa pribadi, sehingga Engkau mencatatnya di sini."

"Tuhan...! Saya ingin seperti saudara-saudara di kamar pertama, yang selalu memuji dan memuliakan Engkau. Tuhan...! Saya tahu Engkau mati di atas kayu salib untuk menebus dosa saya, saya rindu seperti saudara-saudara yang berada di kamar pertama, kedua dan ketiga yang selalu memuji-muji Engkau."

Sesudah itu tulisan yang keluar dari kitab itu hilang, buku manjadi bersih tanpa tulisan, kemudian buku itu hilang dan sinar yang terang itupun hilang dan ada suara berkata: "Pulang! Belum saatnya untuk melayani Aku."

Saya melihat-lihat dari mana arah suara itu datang, saya melihat ada seorang di samping kanan. Orang tersebut badan-Nya seperti manusia, rambut hingga ke lehernya bersinar terang. Jubah-Nya putih hingga menutupi kedua tangan-Nya dan bawah jubah-Nya menutupi kaki-Nya. Ia menunggangi seekor kuda putih dengan tali les yang putih. Lalu roh saya berkata: "Ini Tuhan Yesus, Dia seperti saya, Dia Eloim yang hidup."

"Lalu aku melihat sorga terbuka; sesungguhnya, ada seekor kuda putih dan Ia yang menungganginya bernama: "Yang Setia dan Yang Benar" Ia menghakimi dan berperang dengan adil." Wahyu 19:11

Kemudian Tuhan Yesus tidak nampak lagi dan seketika itu roh saya dibawa pulang ke dalam tubuh saya. Saat itu juga ada nafas, ada pikiran dan saya berpikir, tadi saya bersama dengan Tuhan Yesus. Setelah itu saya mencoba beberapa kali untuk bangun dan mengangkat kepala, tetapi tidak bisa, terasa sakit sekali, saya baru sadar bahwa leher saya telah dipotong dan hampir putus, kemudian saya dibuang ke semak-semak dengan ditutupi daun pisang. Saya merasa haus, lalu menggerakkan tangan mengambil darah tiga tetes dan menjilatnya, lalu badan saya mulai bergerak.

Saya berdoa: "Tuhan, lewat peristiwa ini saya telah bertemu dengan Engkau, dan Engkau memberikan nafas dan kekuatan yang baru sehingga aku hidup kembali, tapi Tuhan, Engkau gerakkan orang supaya ada yang membawa saya ke rumah sakit."

Tuhan menjawab doa saya, malam itu ada orang yang mendekati saya dengan memakai lampu senter, lalu bertanya: "Kamu dari mana?" Saya tidak bisa menjawab, karena saya tidak dapat berbicara lewat mulut, tidak ada suara yang keluar, hanya hembusan nafas yang melalui luka-luka menganga pada leher. Kemudian orang tersebut memanggil polisi.

Puji Tuhan! Dikira sudah meninggal tetapi masih hidup. Mereka mengira saya sudah meninggal, mereka mengangkat dan membawa saya ke jalan raya. Kemudian polisi mencari identitas atau KTP saya, ternyata tidak ditemukan. Tanpa identitas, mereka bermaksud membawa saya ke sebuah rumah sakit lain, tetapi saya ingat kembali akan suara Tuhan dan takhta-Nya di sorga, ternyata ada kekuatan baru dari Tuhan Yesus yang memampukan saya dapat berbicara.
Tiba-tiba saya berkata: "Nama saya Dominggus, umur saya 20 tahun, semester III, tinggal di asrama Doulos, saya berasal dari Timor."

Orang-orang yang sedang melihat dan mendengar saya, berkata: "Wah, dia dipotong dari jam berapa? Sekarang sudah jam 02.30 pagi, tapi dia masih hidup."

#Perjalanan ke Rumah Sakit UKI#

Kemudian mereka memasukkan saya ke dalam mobil dan meletakkan saya di bawah. Saya tetap mengingat peristiwa ketika Tuhan Yesus dianiaya. Sementara mobil meluncur dengan kecepatan tinggi, saat melewati jalan berlubang atau tidak rata mobilpun berguncang dan saya merasa sangat sakit sekali pada luka di leher. Saya katakan kepada Tuhan: "Tuhan, apakah saya dapat bertahan di dalam mobil ini? Tuhan ketika Engkau di atas kayu salib, Engkau meminum cuka dan empedu, tetapi saya menjilat darah saya sendiri karena tidak ada orang yang menjagai saya."

Saya membuka mata, ternyata memang tidak ada seorangpun yang menjagai saya, hanya seorang supir. Tetapi saya melihat beberapa malaikat berjubah puith menjaga dan mengelilingi saya. Saya katakan: "Tuhan ini malaikat-malaikat pelindung saya, mereka setia menjagai." Saya harus berdoa agar tetap kuat.

#Perawatan di Rumah Sakit#

Setiba di rumah sakit, suara saya dapat normal kembali. Saya dapat berbicara dan bertanya kepada perawat: "Bapak saya mana?" perawat RS bertanya kepada saya: "Bapakmu siapa?" Saya jawab: "Bapak Ruyandi Hutasoit." Ketika Bpk. Ruyandi menemui saya, ia berkata: "Dominggus.. leher kamu putus!" Jawab saya: "Bapak doakan saya, sebab saya tidak akan mati, saya telah bertemu dengan Tuhan Yesus." Lalu Bpk. Ruyandi mendoakan dan menumpangkan tangan atas saya.

Setelah itu saya mendapat perawatan, seorang dokter ahli saraf hanya menjahit kulit leher saya, karena luka bacokan sudah menembus sampai ke tulang belakang leher, sehingga cairan otak mengalir keluar, saluran nafas dan banyak saraf yang putus. Kemudian saya dirawat tiga hari di ruangan ICU dan selama perawatan saya tidak diberikan transfusi darah pendapat dokter pada saat itu adalah bahwa saya akan mati dan saya tidak diharapkan hidup, mengingat cairan otak yang telah keluar dan infeksi yang terjadi pada otak, yang semua itu akan menimbulkan cacat seumur hidup.

#Mukjizat Kesembuhan Terjadi#

Tanggal 19 Desember 1999 dengan panas badan 40°C dan seluruh wajah yang bengkak karena infeksi, saya dipindahkan keluar dari ruang ICU, dikarenakan ada pasien lain yang sangat memerlukan dan masih mempunyai harapan hidup yang lebih besar daripada saya.

Pada malam hari, roh saya kembali keluar untuk kedua kali dari tubuh saya, roh saya melihat suasana kamar dimana saya dirawat dan kemudian roh saya berjalan sejauh kurang lebih dua atau tiga kilometer dalam suasana terang di sekeliling saya. Tiba-tiba ada suara terdengar oleh saya: "Pulang..pulang...!"

Seketika itu juga, roh saya kembali ke dalam tubuh saya, suhu tubuh menjadi normal dan tidak ada lagi infeksi. Kemudian terdengar bunyi seperti orang menekukkan jari-jari pada leher saya, lalu otot, tulang, saluran nafas dan saraf-saraf tersambung dalam sekejab mata, saya merasa tidak sakit dan dapat menggerakkan leher. Sesudah itu saya diberi minum dan makan bubur.

Saya sudah hidup kembali, dengan kesehatan yang sangat baik. Puji Tuhan!
Keluar dari Rumah Sakit dalam Keadaan Sembuh Total

Saya berada di rumah sakit sejak tanggal 16 Desember 1999 dini hari dan keluar dari rumah sakit pada tanggal 29 Desember 1999, dengan berat badan normal dibanding dua minggu yang lalu karena banyak darah dan cairan yang telah keluar. Saya telah sembuh sempurna, tanpa cacat, tanpa perawatan jalan, saya hidup kembali dengan normal.

"Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau sungguh Eloim yang hidup dan ajaib, terpujilah nama-Mu kekal sampai selamanya, amin!"
________
__________
There is a story living in us that speaks of our place in the world. It is a story that invites us to love what we love and simply be ourselves.

Jumat, 27 Maret 2009

The Amityville Horror is TRUE STORY!!!

Pembunuhan Tragis Keluarga Defeo 

Seperti biasa Distrik Suffolk, NY, akan melewati senja seperti

hari-hari sebelumnya. Kota yang teduh dan tenang itu hampir tidak pernah mengalami

hal-hal yang secara kriminal mengancam, setidaknya untuk ukuran sebuah kota.

Namun tiba-tiba, pada jam 6.35 sore, ketenangan tersebut dipecahkan oleh sebuah

telpon yang menggegerkan seluruh kota.

Di penghujung senja itu, para investigator kepolisian berhasil

menemukan semua korban pembunuhan yang jumlahnya sampai 6 orang di rumah Ocean

Boulevard Nomor 112 di Amityville, Long Island itu. Enam orang anggota keluarga

Ronald DeFeo secara metodis dibunuh saat mereka tertidur lelap di tempat tidurnya

masing-masing. Satu-satunya yang tersisa adalah Ronald DeFeo, Jr, bebas dari

kubangan darah pembunuhan sadis di kota pinggiran tersebut.

DENDAM DAN AMARAH


Ronald DeFEo, Sr, mencapai status sosial bergengsi sebagaimana impian orang

Amerika umumnya ketika ia membeli rumah di 112 Ocean Boulevard di Amityville,

Long Island. Dia lahir dan besar di Brooklyn, bekerja di perusahaan dealer Buick

di Brooklyn kepunyaan Bapa mertuanya dan dari situ-lah dia berhasil mengumpulkan

sejumlah besar penghasilan. Uang bukan lagi menjadi pertimbangan utamanya ketika

harus meninggalkan kota kelahirannya pindah ke Long Island. Dia memilih sebuah

rumah klasik model Amerika, berlantai dua plus loteng, beberapa kamar, dan sebuah

rumah perahu di Sungai Amityville. Begitu banyak kamar untuk dirinya, istrinya

Louise, dan empat anaknya. Di depan halaman terpancang sebuah plang dengan tulisan

‘Selera Tinggi’, sebuah simbol strata sosial yang tinggi bagi keluarga DeFeos.

Tetapi jauh di balik kesuksesan dan kebahagiaan itu, Roland

adalah seorang yang bertemperamen panas, suka marah dan melakukan kekerasan.

Selalu ada pertengkaran hebat antara dia dan istrinya Louise, dan di depan anak-anaknya

dia terang-terangan menunjukkan citra seorang yang penuh kuasa.

Sebagai anak tertua, Ronald, Jr, atau Butch sebagaimana ia

biasa dipanggil, harus menanggung beban yang berat karena watak dan harapan-harapan

ayahnya yang sangat keras.

Sebagai seorang anak lelaki kecil, Butch merasa tersisih

karena sifatnya yang sering cemberut dan pemarah. Ia sering menjadi korban ejekan

teman-teman sekolahnya dan tidak disukai. Sementara ayahnya selalu mendorong

supaya ia bisa menolong dirinya sendiri, tetapi nasihat-nasihat tersebut tetap

tidak bermanfaat melawan cemohan teman-temannya, dan ironisnya, di lingkungan

rumah ia diperlakukan tidak sesuai dengan yang disarankan ayahnya itu. Ronald,

Sr, sama sekali tidak akan mentolerir bantahan atau ketidak-patuhan, dia selalu

mengekang anak tertuanya itu, dan tidak memberikan kesempatan untuk membela

diri seperti yang diajarkannya.

Ketika

Butch tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa, tubuhnya tampak kekar dan kuat,

dan tidak lagi seperti seekor bebek yang pasrah saja atas perlakuan sewenang-wenang

ayahnya.

Nada-nada

pertengkaran yang semakin meningkat dan melengking sering terjadi antara ayah

dan anak. Meskipun Ronald, Sr. tidak mempunyai pengetahuan yang dalam tentang

hubungan antar-individu, dia cukup jeli melihat dan menyadari bahwa perangai

pemarah dan kekerasan putranya sudah sangat tidak wajar, bahkan kalau pun dibanding

perangainya sendiri. Dia dan istrinya membawanya Butch ke seorang psykiater,

tetapi tampaknya sia-sia karena ia menunjukkan semacam sikap pasif-agresif terhadap

sang psykiater, dan menolak semua pendapat bahwa dirinya harus ditolong.

Karena

tidak ada solusi lain, DeFeos menerapkan caranya sendiri untuk mengatasi anaknya

yang bandel tersebut. Mereka mulai membeli apa saja yang diinginkan oleh Butch

dan memberikan ia uang. Pada usia 14 tahun, ayahnya menghadiahi dia dengan sebuah

‘speedboat’ seharga 14.000 dolar untuk bisa menjelajahi Sungai Amityville. Kapan

saja Butch membutuhkan uang, ia tinggal bilang, dan bila dia sedang tidak ‘mood’

untuk meminta, dia toh bisa mengambil saja.

Pada usia

17 tahun, Butch terpaksa meninggalkan sekolah agama yang diikutinya. Sejak saat

itu dia mulai secara serius menggunakan obat-obatan seperti heroin dan LSD dan

juga sudah mulai mengikuti kelompok-kelompok pencuri kecil-kecilan. Perilaku

kekerasannya semakin meningkat menjadi psykotik, dan tidak terkecuali di lingkungan

rumahnya. Suatu sore ketika sedang melakukan perjalanan wisata untuk berburu

dengan teman-temannya, dia menodongkan senapannya ke arah salah seorang anggota

kelompok mereka, seorang teman yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun.

Tatapannya dingin dan tanpa ekspresi sementara wajah temannya itu menjadi pucat

pasi. Dia segera melarikan diri, dan Butch dengan tenangnya menurunkan senapannya.

Ketika mereka kemudian berkumpul kembali dengan temannya itu, Butch menanyakan

kenapa dia waktu itu cepat pulang.

Pada usia

18 tahun, Butch diberi tugas di dealer Buick kakeknya. Ini merupakan pekerjaan

yang paling menguntungkan, di mana tidak banyak yang diharapkan dari dirinya.

Tidak peduli apakah dia hadir atau tidak di tempat kerja, dia toh tetap akan

mendapat uang dari ayahnya setiap akhir pekan. Uang tersebut digunakannya untuk

urusan mobilnya (yang juga dibelikan ayahnya), untuk alkohol, dan untuk obat-obatan

seperti jarum suntik dan heroin.

Pertengkaran-pertengkaran

dengan ayahnya semakin sering terjadi dan tidak bisa dihindari semakin menggunakan

kekerasan. Pada suatu malam, pertengkaran hebat terjadi antara Tuan dan Nyonya

DeFeo. Bermaksud untuk menyelesaikan pertengkaran tersebut, Butch mengambil

senapan berukuran 12 dari ruangannya, mengisi sebutir peluru ke dalamnya, dan

bergegas ke lantai bawah untuk melerai pertengkaran tersebut.

Tanpa

ragu-ragu atau teriakan untuk menghentikan pertikaian itu, Butch menodongkan

senapannya ke wajah sang ayah sambil membentak, “Jangan ganggu wanita itu. Saya

akan membunuhmu, setan gendut! Rasakan ini.” Butch menarik pelatuknya, tetapi

senapan itu secara ajaib tidak meletus. Ronald, Sr. berdiri kaku di tempatnya

dan menatap terpana ketika putranya itu menurunkan senapannya dan seenaknya

berjalan ke luar ruangan tanpa perasaan menyesal sedikit pun bahwa hampir saja

dia membunuh ayahnya sendiri dengan tangan dingin. Pertikaian itu segera berakhir,

tetapi tindakan Butch itu merupakan pertanda akan adanya kekerasan selanjutnya

bukan saja atas ayahnya tetapi kepada seluruh keluarga.

Tembakan di Malam Hari

Beberapa minggu sebelum peristiwa pembantaian itu, hubungan

antara Butch DeFeo dan ayahnya sudah mencapai pada puncaknya. Butch, sangat

jelas tidak lagi puas dengan uang yang diberikan ayahnya, dan mulai melakukan

tipuan-tipuan terhadap keluarganya.

Dua minggu sebelum kejadian pembunuhan, Butch diutus oleh

seorang staf di kantor dealer Buick untuk mendepositokan uang tunai sebesar

1.800 dolar dan 20.000 dolar dalam rupa check di bank. Namun, Butch mengatur

sebuah ‘perampokan’ atas dirinya dalam perjalanan tersebut oleh seorang sahabatnya,

yang kemudian membagi hasil rampokan tersebut.

Butch dan seorang pegawai lain dari dealer tersebut pergi

ke bank pada jam 12.30. Mereka tidak kembali selama dua jam, ketika pulang ,

mereka melaporkan bahwa mereka telah dirampok dengan todongan senjata api di

lampu merah. Ronald, Sr. berada di kantor dealer saat mereka pulang, dan meledak

marah ketika mendengar cerita Butch, terutama kepada staf yang menyuruhnya.

Polisi lalu dipanggil, dan ketika mereka sampai pertama-tama mereka ingin berbicara

langsung dengan Butch. Namun, bukannya bekerja sama dengan polisi, setidaknya

sedikit mendeskripsikan rupa bandit fiksional tersebut, Butch malah naik pitam

dan menjadi uring-uringan kepada polisi.

Dia mulai menunjukkan perilaku kekerasannya ketika mereka

kelihatan mencurigai bahwa ia berbohong, dan pertanyaan mereka sudah mulai terfokus

pada dua jam kepergian mereka. Kenapa Butch tidak segera kembali ke kantor dealer

setelah terjadi perampokan sejumlah besar uang yang dibawanya? Di mana dia selama

dua jam itu berada? Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Butch mulai

mencaci-maki mereka, menggebrak kap mobil yang berada di tempat parkir kantor

kakeknya untuk melampiaskan kemarahannya. Untuk sementara polisi menarik diri

dari kasus tersebut, tetapi Ronald, Sr. sudah mempunyai kesimpulannya sendiri

tentang motif dari perilaku putranya itu.

Pada hari Jumat sebelum pembunuhan, Butch telah diminta polisi

untuk mencoba mengidentifikasi beberapa pembunuh dari daftar kepolisian yang

mungkin sebagai pelaku perampokan terhadap dirinya. Pada awalnya dia setuju,

tetapi pada menit terakhir dia tiba-tiba menolak tawaran polisi tersebut. Ketika

Ronald, Sr. mendengar ini, dia memarahai putranya di kantor, mendesaknya untuk

memberi alasan kenapa ia tidak mau bekerjasama dengan polisi. “Kau sudah dirasuki

setan,” pekik sang ayah kepada putranya. Butch tidak peduli. “Bajingan gendut,

Saya akan membunuhmu.” Dia kemudian segera bergegas ke mobilnya dan pergi dengan

cepat. Pertengkaran ini tidak sampai meledak-ledak. Tetapi konfrontasi terakhir

kian mendekat.

Malam yang tenang dan lengang menyelimuti perkampungan Amytville

pada jam-jam subuh hari Rabu, 14 November 1974 itu. Anjing-anjing rumah yang

berkeliaran dan mobil-mobil tua yang masih berseliweran merupakan satu-satunya

tanda kehidupan sementara keluarga dan tetangga semuanya terlelap dalam tidurnya.

Tetapi ada kebencian dan kegeraman yang sedang bergejolak di balik kelengangan

di 112 Ocean Boulevard. Seluruh keluarga DeFeo sudah tertidur lelap, kecuali

Butch. Dia masih duduk dengan tenang di kamar tidurnya, dia tahu apa yang ingin

dikerjakannya, sesuatu yang sudah direncanakannya. Ayah dan keluarganya tidak

lama lagi menjadi ganjalannya.

Butch adalah satu-satunya anggota keluarga yang memiliki

kamar tersendiri. Karena prilaku suka akan kekerasannya dan merupakan putra

tertua memungkinkan dia memiliki ruang istimewa tersebut. Dia juga berhasil

mendapat sebuat ruangan khusus menyimpan koleksi senjatanya yang kadang-kadang

juga dijualnya. Pada malam pembunuhan itu, Butch memilih senapan Marlin kaliber-35

dari lemarinya, dan secara diam-diam namun tegar, mengendap-endap ke kamar tidur

orang tuanya.

Dengan tenang dia membuka pintu kamar tidur dan untuk sesaat

mengamati mereka yang sedang lelap tertidur, tidak menyadari horor yang akan

menimpa mereka. Lalu, tanpa keraguan sedikitpun, Butch mengangkat senapan dan

meletakkan di pundaknya, dan menarik pelatuknya, tembakan pertama dari delapan

tembakan fatal malam itu. Tembakan pertama mengenai belakang ayahnya, mengoyak

ginjal dan menembusi dadanya. Tembakan kedua kembali menerpa bagian punggung

sang ayah dan pelurunya bersarang di lehernya.

Hanya sesaat, Louise DeFeo terbangun sebelum putranya melepaskan

tembakan ke arahnya. Butch mengarahkan senjata itu ke ibunya yang sedang tertidur

tertelungkup, dan melepaskan dua kali tembakan. Peluru-peluru itu mengoyak tulang-tulang

rusuknya dan menghancurkan paru-paru kanannya. Kedua mayat tersebut tergeletak

kaku bermandikan darah segar mereka sendiri.

Sejauh ini aksinya berjalan aman tanpa satu pun penghuni

lain rumah itu terbangun. Sekali lagi dia memeriksa korbannya untuk memastikan

mereka benar-benar tewas. Sasaran berikutnya adalah dua adik lelakinya, John

dan Mark. Dia memasuki kamar tidur kedua anak tersebut dan berdiri di antara

dua tempat tidur mereka. Masing-masing mereka mendapat satu tembakan dari Butch.

Peluru-peluru tersebut telah mengoyak organ-organ tubuh mereka bagian dalam,

dan mengakhiri hidup mereka.

Mark terkapar tidak bergerak, sementara John, yang bagian

saraf tulang belakangnya hancur terkoyak peluru, masih sempat menggeliat sesaat

setelah tertembus peluru. Sekali lagi aksi tersebut tidak membangunkan penghuni

lain rumah yang masih tersisa. Butch kemudian bergegas menuju kamar adik-adik

perempuannya, Dawn dan Allison. Usia Dawn mendekati usia Butch, sementara Allison

masih sepantaran John dan Mark.

Pada saat Butch memasuki kamar, Allison terbangun dan menengok

ke arah Butch tepat pada saat dia mengarahkan senapannya ke wajah adiknya itu

dan menarikpelatuknya. Adik perempuan terkecilnya itu langsung tewas. Butch

kemudian mengarahkan senapannya ke kepala Dawn, bagian kiri wajahnya hancur

terkoyak peluru dan langsung mati.


Jam baru saja lewat jam 3.00 pagi buta. Hanya dalam waktu kurang dari 15 menit,

Ronald ‘Butch’ DeFeo, Jr. secara brutal membantai semua anggota keluarganya

dengan sadis. Anjing keluarga DeFeo, Shaggy, terikat di rumah perahu, dan menyalak

dengan liar sebagai reaksi terhadap kebrutalan yang terjadi di rumah itu. Namun,

salak anjing itu sedikit pun tidak mengganggu aksi Butch. Begitu semua rencananya

terlaksana dengan baik, kini dia mengalihkan perhatian untuk membersihkan dirinya

dan membuat alibi untuk membela diri di pengadilan kelak.

Dengan tenang Butch mandi, mencukur jenggot, dan mengenakan

jeans serta sepatu kerjanya. Dia lalu mengumpulkan semua pakaian yang berlumur

darah dan senjata yang dipakai menembak, membungkusnya dengan sebuah sarung

bantal, kemudian menuju ke mobilnya. Semua barang bukti dibawanya sebelum matahari

pagi tiba. Dia menuju Brooklyn, dan membuang sarung bantal yang berisi barang-barang

bukti itu ke kalam sebuah selokan air yang sangat deras. Kemudian dia kembali

ke Long Island, pada saatnya sampai di kantor dealer kakeknya, seperti biasa,

jam 6.00 pagi.

Membuka Kedok Seorang Pembunuh

Butch tidak lama berada di tempat kerja. Dia menelpon ke

rumah beberapa kali, dan ketika ayahnya tidak ada tanda-tanda akan muncul, dia

bertingkah seolah-olah merasa jenuh karena tidak ada yang harus dikerjakan,

dan meninggalkan kantor sekitar waktu siang. Dia menelpon pacarnya, Sherry Klein,

untuk mengabarkan bahwa dia akan cepat pulang dari kerjanya, dan karena itu

dia akan mampir dan mengunjuginya. Dalam perjalanan pulangnya ke Amitville,

Butch bertemu temannya, Bobby Kelske, dan keduanya berhenti untuk berbincang-bincang.

Butch kemudian terus ke rumah Sherry, sampai pada jam 1.30 siang.

Sherry merupakan seorang gadis muda berusia 19 tahun, berbadan

bagus dan seorang waitress populer di sebuah bar yang sering dikunjungi Butch

dan teman-temannya. Begitu sampai, Butch menyampaikan dengan ringkas bahwa dia

sudah beberapa kali menelpon ke rumah, dan, meskipun semua kendaraan masih berada

di tempatnya, tidak ada jawaban. Sekedar untuk meyakinkan, sekali lagi dia menelpon

dari apartemen Sherry ke rumahnya, dengan hasil yang sudah diduga tetap sama.

Bertingkah seperti penuh tanda tanya namun tidak peduli,

Ronald mengajak Sherry berbelanja di sore hari itu. Dari mall Massapequa, mereka

menuju ke rumah Bobby. Ronald menceritakan kepada Bobby seperti apa yang disampaikan

kepada Sherry, bahwa meskipun tampak keluarganya berada di rumah, namun tidak

ada jawaban ketika dia menelpon ke sana. “Pasti ada sesuatu yang terjadi di

sana,” katanya. “Semua kendaraan parkir di jalan masuk dan saya tetap tidak

bisa masuk ke dalam rumah. Saya dua kali menelpon tapi tidak ada jawaban.” Sambil

dengan serentak dan kasar mengganti persneling, Butch bertanya apakah Bobby

nanti ada acara ke luar. Bobby menjawab bahwa dia ingin beristirahat, dan kalau

nanti Butch mencarinya, dia bisa ditemui di sebuah bar lokal yang biasa disebut

Henry’s sekitar jam 6.00 sore.

Butch menghabiskan sisa sore itu dengan mengunjugi teman,

minum-minum, dan mengkonsumsi heroin. Akhirnya dia sampai di Henry’s setelah

jam 6, dan tidak lama kemudian diikuti oleh Bobby. Sekali lagi Butch menaruh

perhatian pada gagalnya ia menghubungi keluarganya di rumah. “Saya akan pulang

ke rumah dan memecahkan jendela supaya bisa masuk,” katanya kepada Bobby. “Yah,

lakukan sesuka hatimu,” jawab temannya dengan enteng. Ronald kemudian segera

meninggalkan bar dengan maksud mencari tahu apa yang terjadi, dan kembali ke

bar itu hanya dalam beberapa menit kemudian dalam keadaan bingung dan cemas.

“Bob, kamu harus menolong saya,” pintanya dengan hiba. “Seseorang telah menembak

ibu dan ayah saya!”

Kedua sahabat itu segera saja diikuti oleh sekelompok teman

mereka, dan semuanya masuk ke mobil Butch, dan Bobby yang menyetir. Hampir 15

jam setelah pembunuhan itu dilakukan. Begitu sampai di rumah Butch, Bobby Kelske

segera memasuki pintu depan dan terus menuju lantai atas ke kamar tidur utama.

Di sana tergeletak Ronald, Sr. dan istrinya Louise. Dia segera kembali turun

dan ke luar rumah, duduk di samping Butch yang berpura-pura berduka cita dan

bingung. Joey Yeswit menemukan telpon di ruang dapur, dan dialah yang memanggil

polisi. Dalam waktu 10 menit polisi pertama sampai di tempat itu, Kenneth Geguski.

Pada saat ia tiba, sekelompok pemuda berkumpul di pekarangan depan rumah DeFeo.

Butch berada di antara mereka, sedang terisak sedih. “Ibu dan ayah saya mati,”

katanya ketika Greguski mendekati mereka.

Polisi patroli Kota kecil Amityville itu segera memasuki

rumah dan naik ke lantai atas. Pertama-tama dia menemukan mayat Ronald dan Louise,

kemudian mayat John dan Mark DeFeo. Dia kembali ke lantai bawah untuk menelpon

polisi setempat dari ruang dapur. Ronald duduk di meja dapur, masih terus menangis.

Begitu mendengar deskripsi Greguski, dia memberi tahu petugas itu bahwa dia

masih mempunyai dua orang adik perempuan. Greguski segera meletakkan gagang

telpon dan segera kembali ke lantai atas. Pada saat itu petugas patroli yang

lain tiba di tempat itu, Edwin Tyndall. Keduanya lalu menemukan Dawn dan Allison.

Dibutuhkan kerja ahli forensik untuk menentukan di bagian mana gadis-gadis itu

ditembak, dan menggunakan senjata apa, karena terlalu banyak darah yang berceceran

sehingga bahkan sulit dari mana mulai menebak.


Tidak lama setelah jam 7.00 malam, para tetangga riuh membicarakan apa yang

sedang terjadi di rumah elit tersebut. Polisi penuh berseliweran di dalam rumah,

sementara warga lain di pekarangan depan bergerombol menonton. Detektif Distrik

Suffolk, Gaspar Randazzo, adalah polisi pertama yang menginterogasi Butch, satu-satunya

yang selamat dalam pembantaian itu. Mereka duduk bersama di meja dapur keluarga

DeFeo, ketika Randazzo menanyakan Butch siapa kira-kira menurutnya yang melakukan

semua ini. “Louis Falini,” jawab Butch setelah diam sejenak. Falini adalah seorang

tukang pukul mafia yang sangat terkenal yang diklaim Butch mempunyai dendam

dengan keluarganya sebagai akibat pertengkaran antara mereka berdua beberapa

tahun sebelumnya.

Interogasi selanjutnya dilangsungkan di rumah tetangga sebelah, di mana dibangun

sebuah pos polisi darurat. Detektif Gerard Gozaloff bergabung dalam proses penyelidikan.

Diperkirakan bahwa, jika benar ini mengarah pada sebuah aksi kelompok kejahatan

terorganisir, berarti Butch tetap menjadi sasaran pembunuhan, maka pertanyaan

selanjutnya diadakan di kantor polisi. Di sana mereka bergabung dengan detektif

ketiga, Joseph Napolitano. Dan di sini Butch memberikan pernyataan tertulisnya.

Dalam pernyataan tersebut, dia mengklaim berada di rumah

pada malam sebelumnya sampai jam 2.00 dini hari menonton film televisi ‘Castle

Keep’. Pada jam 4.00, dia melewati kamar mandi lantai atas, dan bahwa kursi

roda adiknya berada di depan pintu kamarnya. Dia juga mendengar bunyi siraman

air dari toilet. Karena dia tidak bisa tidur lagi, dia memutuskan untuk pergi

kerja lebih awal. Dia mendeskripsikan kegiatannya sepanjang hari itu, bahwa

dia meninggalkan kantor lebih awal, mengunjungi Sherry dan Bobby, minum-minum,

dan berusaha menghubungi keluarganya melalui telpon.

Ketika akhirnya dia pulang ke rumah untuk mengecek keluarganya,

dia memasuki rumah lewat jendela dapur yang dibuka paksa, dan menuju ke lantai

atas di mana dia menemukan mayat orang tuanya. Segera dia lari tergesa-gesa

ke lantai bawah dan kembali ke Bar Henry, di mana dia menemui kawan-kawannya

yang kemudian menghubungi polisi.

Setelah membuat pernyataan tertulis, para detektif terus

menanyakan kepadanya tentang keluarganya, tentang anggapannya bahwa Louis Falini

kemungkinan yang melakukan pembunuhan. Butch menjawab bahwa Falini pernah tinggal

bersama mereka selama beberapa waktu lamanya, dan selama masa itu dia telah

menolong dirinya dan ayahnya membuat sebuah ruang rahasia di lantai dasar di

mana Ronald, Sr. menyembunyikan uang dan perhiasan. Pertengkaran mereka dipicu

oleh insiden di mana Falini mengkritik kerja Butch di dealer mobil kakeknya.

Butch juga secara sukarela mengakui bahwa ia seorang pemakai

heroin, juga mengakui bahwa ia pernah dengan sengaja membakar satu perahu motor

ayahnya sehingga Ronald, Sr. bisa mengklaim asuransi. Sekitar jam 3.00 dini

hari pertanyaan-pertanyaan baru berakhir, dan Butch kemudian tidur di ruang

dokumen polisi di bagian belakang. Ronald, Jr. secara terbuka memberikan semua

keterangan yang diperlukan, dan sejauh ini polisi tidak menaruh curiga padanya.

Namun situasinya mulai berubah ketika penyelidikan terus

berlanjut dalam pemeriksaan bukti-bukti fisik, baik di tempat kejadian maupun

di laboratorium polisi. Sebuah penemuan krusial sekitar jam 2.30 dini hari tanggal

15 November, ketika Detektif John Shirvell melakukan pembersihan terakhir di

kamar-kamar tidur keluarga DeFeo. Kamar-kamar di mana terjadi pembunuhan terlihat

dalam keadaan sudah dibersihkan dengan teliti, sementara kamar Butch secara

sepintas ditata seadanya. Namun, setelah ditelusuri lagi, Detektif Shirvell

menemukan sepasang kotak karton segi empat, keduanya berlabel: senapan Marlin

berkaliber 22 dan 35. Shirvell tidak mengetahui kalau Marlin kaliber 35 lah

senjata yang dipakai untuk membunuh, tetapi tetap saja mengambil kotak-kotak

tersebut kalau-kalau berguna sebagai barang bukti. Ternyata memang sangat penting

sebagai barang bukti. Tidak lama setelah sampai di kantor polisi, Shirvell segera

mengetahui dengan pasti jenis senjata apa yang dipakai untuk membunuh tersebut.

Pada interogasi berikutnya terhadap Bobby Kelske terungkap bahwa ternyata Butch

seorang fanatik senjata, dan bahwa ia sendiri lah yang melakukan perampokan

uang milik dealer Buick beberapa waktu yang lalu.

Dalam waktu yang singkat, para detektif mulai secara sungguh-sungguh

mempertimbangkan kemungkinan Butch telah mempermainkan mereka, bahwa sesungguhnya

dia lah tersangka utama, atau paling tidak tahu jauh lebih banyak tentang pembunuhan

itu dari pada yang sejauh ini diceritakannya. Pada jam 8.45 pagi hari, Detektif

George Harrison membangunkan Butch dari tidurnya. “Apakah kalian telah menemukan

Falini?” tanyanya. Tetapi Harrison malah membacakan hak-haknya sebagai tanda

dia ditangkap. Butch protes atas perlakuan itu karena selama ini ia telah menunjukkan

sikap koperatif dengan polisi, dan karena itu tidak perlu membacakan hak-haknya.

Yang seharusnya dilakukan adalah cukup mengangkat tangan di bawah sumpah sebagai

saksi yang tidak bersalah dan menyampaikan semua yang diketahuinya.


Pada saat ini, Gozaloff dan Napolitano sudah sangat letih. Mereka digantikan

oleh Letnan Robert Dunn dan Detektif Dennis Rafferty. Sekali lagi Rafferty membacakan

hak-hak Butch, dan memusatkan pertanyaan-pertanyaan mereka seputar keberadaan

Butch selama beberapa hari sebelumnya. Kemudian Rafferty sampai ke malam pembantaian.

Dalam keterangan tertulisnya, Buth mengaku beranjak dari kamarnya jam 4.00 pagi,

dan dia mendengar adik lelakinya berada di kamar mandi saat itu. “Butch, seluruh

anggota keluarga ditemukan mengenakan pakaian tidur dan bergelimpangan di tempat

tidurnya,” kata Rafferty. Itu menunjukkan pada saya bahwa pembunuhan terjadi

sekitar jam satu siang setelah kamu pergi kerja.” Rafferty terus menekan Butch

sampai ia bisa dibawa keluar dari versi tertulisnya tentang kapan terjadinya

peristiwa itu, dan bahwa kejadian itu terjadi antara jam 2.00 dan 4.00 dini

hari.

Dengan sedikit celah ini, cerita Butch yang dirangkai secara

kasar sebelumnya mulai terbantahkan. Polisi mulai menemukan kejanggalan-kejanggalan

yang terjadi antara cerita Butch dengan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Bukti-bukti

tersebut mengarahkan Butch keterlibatan Butch dari segi waktu terjadinya pembunuhan

itu. Pada mulanya, Butch mati-matian membuktikan, mengarahkan polisi agar mereka

percaya bahwa kalau pun pada saat pembunuhan ia berada di rumah itu namun ia

baru mendatangi tiap-tiap kamar tersebut setelah pembunuhan. Tetapi polisi tidak

mau menyerah begitu saja.


“Butch, itu sesuatu yang mustahil,” kata Rafferty. “Sulit untuk bisa dipercaya.

Butch, kami menemukan kotak peluru senapan berkaliber 35 dari kamarmu. Semua

korban ditembak dengan senjata kaliber 35. Dan kamu telah melihat semua yang

terjadi di sana. Masih banyak yang kamu sembunyikan. Senjatamulah yang digunakan.”

Lebih ngotot dari sebelumnya, Butch terus berdusta, meskipun

dusta-dustanya justru lebih jauh membuktikan keterlibatannya dalam pembunuhan

tersebut. Dia bercerita kepada para investigatornya bahwa pada jam 3.30 dini

hari, Louis Falini membangunkannya dan menodongkan senjata di kepalanya. Ada

juga orang lain di ruangan itu, kata Butch, tetapi setelah terus didesak dengan

pertanyaan-pertanyaan berikutnya, ia tidak bisa mendeskripsikan secara fisik

kepada polisi. Menurut versi barunya, Falini dan kawannya memaksa Butch memasuki

satu persatu kamar yang ada, membunuh setiap penghuninya. Polisi membiarkannya

terus bercerita, dan akhirnya menunjukkan keterlibatan dirinya dan menggambarkan

bagaimana dia mengumpulkan dan membereskan semua barang bukti. “Tunggu dulu,”

kata Rafferty. “Kenapa engkau harus menyingkirkan senjata itu kalau kamu tidak

melakukannya? Kamu tidak tahu kalau senjatamu yang digunakan.”

Butch tidak menanggapi pertnyaan-pertanyaan tersebut, sehingga

para investigator membiarkannya terus berceloteh. Mereka sudah mempunyai kesimpulan

akan keterlibatannya namun tetap berpura-pura mempercayai bahwa Falini dan temannya

melibatkan dirinya dalam aksi tersebut dan membiarkannya tetap hidup. “Mereka

pastilah melibatkan dirimu dalam pembunuhan itu,” kata Dunn kepada Butch. “Paling

tidak kamu pasti bisa menembak salah satu dari mereka - - atau mungkin beberapa

dari mereka.”

Butch kelihatan terpancing, dan jebakan itu mengena. “Namun

tidak seperti itu yang terjadi, bukan?” tanya Rafferty. “Dengarkan saya sebentar,”

jawab Butch, kepalanya bertumpu di tangannya. “Butch, mereka tidak pernah ada

di sana, bukan? Falini dan teman-temannya tidak pernah ada di sana.” “Memang

tidak,” Butch akhirnya mengaku. “Semuanya berlangsung sangat cepat. Sekali memulai,

saya tidak lagi bisa berhenti. Semuanya berlangsung sangat cepat.”

Pengadilan

style='font-size:10.0pt;font-family:Verdana'>


Kasus Butch DeFeo disidangkan pada hari Selasa 14 Oktober

1975, hampir setahun setelah kejadian. Gerard Sullivan sebagai penuntut umum,

seorang asisten jaksa distrik Suffolk, NY. Meskipun sudah ada pengakuan Butch,

fakta-fakta yang memastikan investigasi polisi yang mengarah kepada dirinya,

dan fakta bahwa senapan berkaliber 35 itu adalah milik Butch, Sullivan sangat

hati-hati dalam pendekatan penuntutannya. Selama masa tanya-jawab pra-peradilan

dan masa pemilihan dewan juri, Sullivan telah mempelajari Butch, menginterogasinya,

menyelidiki bagaimana prilakunya terhadap orang lain.

Dia tahu bahwa Butch seorang pembohong pathologis, yang dielaknya.

Dia berhasil memilih William Weber sebagai pengacaranya, di mana dari pola-pola

prilaku pembunuhan yang ditunjukkannya memungkinkan Weber menuntut bebas atas

kliennya berdasarkan pertimbangan tidak waras. Tetapi Sullivan tahu bahwa Butch

tidak gila, bahwa dia memang benar seorang yang suka kekerasan dan seorang pembunuh

berdarah dingin dan karena itu dia akan berusaha membuktikannya. Pernyataan

pembuka di hadapan dewan jurinya sangat krusial, karena itu merupakan suatu

tahapan awal dari upayanya membuka kebenaran tentang sifat kriminal Butch DeFeo.

Dia tidak secara otomatis bisa memaksa dewan juri sependapat dengannya, bahwa

Butch seorang yang benar-benar waras, seorang pembunuh yang metodis.

“Dewan juri yang terhormat,” katanya, “masing-masing kalian

pada tingkatan tertentu akan berubah pikiran dalam kasus ini. Kalian akan meninggalkan

ruangan ini setelah menetapkan sebuah keputusan mungkin sebulan dari sekarang.

Kalian akan pergi bersama kenangan tak terlupakan yaitu sebuah kisah horor yang

terjadi di sebuah rumah di 112 Ocean Avenue tentang pembantaian pada malam hari

sebelas bulan yang lalu.”


“Perhatikan dengan saksama semua bukti yang akan dihadirkan dalam persidangan

ini dan siapa yang akan menghadirkannya sehingga benar-benar bisa menentukan

sebuah keputusan yang akan diambil,” lanjutnya, mengantisipasi sebuah kemungkinan

pembuktian terdakwa dalam kondisi tidak waras. “Banyak dari bukti dan saksi

yang akan dihadirkan akan berusaha mengarahkan dewan juri lebih memaafkan terdakwa

dengan alasan sakit mental atau tidak waras.

Jika kalian membuka pikiran dengan bijak, mengevaluasi dengan

hati-hati dan menilai semua bukti dan saksi, saya yakin pada akhirnya kalian

akan kembali ke ruangan ini dengan keputusan bahwa Ronald DeFeo, Jr. bersalah

atas enam tuduhan terhadapnya dalam kasus pembunuhan pada tingkat kedua.”

Persoalan keadaan mental DeFeo pada saat terjadinya pembunuhan

tetap menentukan apakah dia akan bebas atau bersalah. Sebelum persidangan digelar,

Weber telah berusaha membebaskan kliennya dengan alasan bahwa Butch tidak diperkenankan

oleh pihak kepolisian didampingi pengacara sebelum memberikan pengakuan. Dia

juga lebih jauh mengatakan bahwa pengakuan tersebut di bawah tekanan atau paksaan

pihak kepolisian, sebuah kebiasaan yang sudah merupakan bagian dari citra kepolisian.

Namun klaim-klaim ini sama sekali tidak beralasan, dan karena itu Weber tetap

mempertahankan kliennya dengan latar belakang keadaan mental yang tidak waras

pada saat kejadian itu berlangsung.


Sullivan cukup menyadari bahwa argumen satu dimensi yang

membuktikan bahwa DeFeo waras dan bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya

tidak cukup meyakinkan dewan juri. Sullivan mendatangkan beberapa orang saksi,

termasuk petugas polisi dan detektif yang telah menangani kasus tersebut termasuk

keluarga dan teman-teman Butch. Melalui kesaksian mereka Sullivan ingin meyakinkan

dewan juri suatu potret tiga dimensi tentang seorang lelaki yang mampu membunuh

enam orang anggota keluarganya tanpa belas kasih. Tetapi tak satu pun saksi

yang bisa memberikan kejelasan lebih meyakinkan dari pada DeFeo sendiri.

Weber memanggil saksinya dan mengarah pertanyaan untuk membuktikan

bahwa kliennya tidak waras. Sambil memegang foto ibunya yang tergeletak kaku

di tempat tidurnya, Weber bertanya kepada Butch, “Ronnie, ini ibumu, bukan?”

“Bukan, Tuan,” jawab Butch. “Sudah saya katakan kepada Anda sebelumnya dan saya

akan katakan lagi seperti itu. Saya tidak pernah melihat orang sepanjang hidup

saya. Saya tidak tahu siapa orang ini.”

Kemudian Weber menunjukkan foto mayat ayahnya, dan bertanya,

“Butch, apakah kamu yang membunuh ayahmu?” “Apakah saya membunuhnya? Saya membunuh

mereka semua. Ya, Tuan. Saya membunuh mereka dalam rangka membela diri.”!!.

Mendengar pengakuan itu, Sullivan menunjukkan reaksi wajah

tegang dan geram, sementara beberapa anggota dewan juri secara spontan terkesiap

keras. Weber terus melanjutkan pertanyaan dengan tenangnya, menanyakan kenapa

dia melakukan semua itu. “Sejauh yang saya tahu, jika saya tidak membunuh keluarga

saya, maka mereka lah yang akan membunuh saya. Dan sepanjang yang saya ketahui

bahwa saya lakukan itu untuk mempertahan diri dan tidak ada yang salah dengan

itu. Ketika saya menggenggam senjata di tangan saya, seketika itu pula saya

menyadari siapa saya sebenarnya. Saya adalah Tuhan.”

Kesaksian yang diberikan oleh Butch bagi sebagian anggota

dewan juri langsung menilai bahwa ia seorang yang mengalami kelainan mental

dan karena itu kemungkinan ia bisa bebas dari hukuman. Kemungkinan ini yang

harus dicegah Sullivan dengan keras. Sullivan tidak mau mengikuti alur permainan

Butch yang jelas mengarahkan persoalan kepada ketidak warasan, dimana ia tidak

sanggup mengenali ibunya sendiri, versi ceriteranya berlawanan dengan pernyataan

sebelumnya. Sullivan sebaliknya mau memprovokasi Butch secara agresif membangkitkan

arogansinya, kebenciannya untuk menunjukkan kepada dewan juri bahwa ia bukan

sekedar korban ketidak-warasan. Dia ingin membuktikan bahwa Ronnie ‘Butch’ DeFeo

benar-benar seorang pembunuh berdarah dingin yang sadar dan bertanggungjawab

penuh atas apa yang diperbuatnya.


Sullivan menyadari percuma untuk melakukan konfrontasi dengan ceritera-ceritera

yang tidak konsisten yang dibuat Butch. Karena itu dia memfokuskan pertanyaannya

pada pembunuhan itu sendiri. Bagaimana perasaannya saat dia membunuh dan kenikmatan

apa yang diperoleh dengan membunuh seluruh keluarganya.

“Kamu merasa senang pada saat itu?” tanyanya. “Ya, Tuan.

Saya merasa sangat menyenangkan,” jawab Butch. “Apakah karena kamu tahu bahwa

mereka semuanya mati, karena kamu sudah menghadiahi mereka masing-masing dua

tembakan?” Saya tidak tahu kenapa. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan

jujur.” “Apakah kamu ingat saat kamu gembira?” “Saya tidak ingat saat saya gembira.

Saya hanya ingat merasa sangat menyenangkan, Menyenangkan.”

Upaya Sullivan untuk memprovokasi Butch berhasil mengarahkannya

sampai pada suatu titik yang diinginkan, di mana dia mengancam nyawa penuntut.

“Kamu kira saya main-main,” dia menyalak penuh kebencian dari tempatnya duduk.

“Jika saya mempunyai kesempatan, saya akan membunuhmu sekarang juga.”

Pokok persoalan yang sangat krusial dalam kasus ini jelas

tergantung pada kondisi mental DeFeo. Semua itu tergantung pada dua saksi ahli.

Dr. Daniel Schwartz yang reputasinya sudah sangat terkenal diminta pihak pembela

sebagai saksi ahli. Dan Dr. Harold Zoland sebagai saksi ahli pihak penuntut.

Berkat keahlian, reputasi dan pengalaman baik Weber maupun Dr. Schwartz, hampir

bisa dipastikan dewan juri bisa terpengaruh dan berkesimpulan bahwa Butch mengalami

sakit mental atau tidak waras.

Namun kerja keras, keuletan dan upaya tiada henti Sullivan,

meskipun dirasakan tidak cukup kuat mempengaruhi dewan juri, sedikit demi sedikit

ada harapan untuk memojokkan kubu terdakwa.

Dr. Harold Zoland dalam kesaksiannya memberikan suatu penilaian

terhadap terdakwa di mana prilaku DeFeo merupakan suatu kepribadian yang bersifat

anti-sosial, suatu bentuk kelainan atau penyimpangan yang berbeda dari cacat

atau sakit mental apapun. Secara esensi, mereka yang mengalami penyimpangan

seperti ini sepenuhnya menyadari apa yang mereka lakukan, bisa membedakan antara

yang benar dan salah, tetapi semuanya didorong oleh suatu sikap mementingkan

diri sendiri (ego-sentris) yang berlebihan.


Setelah melalui persidangan yang panjang dan dewan juri telah mencapai sebuah

keputusan, maka pada hari Jumat, 21 November 1975, Ronald DeFeo, Jr. dinyatakan

bersalah atas pembunuhan enam anggota keluarganya sendiri. Dua minggu kemudian

hukuman atas dirinya ditetapkan 25 tahun penjara untuk semua tuduhan.